Cerita Rakyat Nusantara
JAKA TARUB
Jawa Tengah - Indonesia
Dahulu kala, di Desa Tarub, tinggallah seorang janda bernama Mbok Randa Tarub. Sejak suaminya meninggal dunia, ia mengangkat seorang bocah laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewasa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub.
Jaka Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub seperti anaknya sendiri.
Waktu terus berlalu. Jaka Tarub beranjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan.Banyak gadis yang mendambakan untuk menjadi istrinya. Namun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Randha yang dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Ia bekerja semakin tekun, sehingga hasil sawah ladangnya melimpah. Mbok Randha yang pemurah akan membaginya dengan tetangganya yang kekurangan. “Jaka Tarub, Anakku. Mbok lihat kamu sudah dewasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah menikah, Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari.
“Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.
“Tapi jika Simbok tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.
“Sudahlah, Mbok. Semoga saja Simbok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat.
“Hari sudah siang, tetapi Simbok belum bangun. Kadingaren ...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi. “Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya.
“Iya, Le,” jawab Mbok Randha lemah.
“Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres simboknya. Namun rupanya umur Mbok Randha hanya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas terakhirnya.
Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladangnya terbengkalai. “Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.
Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya, Jaka Tarub menjadi berselera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil membawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang diambah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur.
Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar derai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. “Suara orangkah itu?” gumamnya. Pandangannya ditujukan ke telaga. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain-main air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub menganga melihat kecantikan mereka. Tak jauh dari telaga, tergeletak selendang mereka. Tanpa pikir panjang, diambilnya satu selendang, kemudian disembunyikannya.
“Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari sudah sore. Kita harus segera kembali ke kahyangan,” kata Bidadari tertua. Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kembali mengenakan selendang masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tak menemukan selendangnya.
“Kakangmbok, selendangku tidak ada,” katanya.
Keenam kakaknya turut membantu mencari, namun hingga senja tak ditemukan juga. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bisa menunggumu lama-lama. Mungkin sudah nasibmu tinggal dimayapada,” kata Bidadari tertua. “Kami kembali ke kahyangan,” tambahnya.
Nawang Wulan menangis sendirian meratapi nasibnya. Saat itulah Jaka Tarub menolongnya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah. Beberapa bulan kemudian, Jaka Tarub menikahi Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawangsih, anak mereka.
Pada suatu hari, Nawang wulan berpesan kepada Jaka Tarub, “Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke kali. Tapi jangan dibuka tutup kukusan itu,” pinta Nawang Wulan. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub penasaran dengan larangan istrinya. Maka dibukanya kukusan itu. Setangkai padi tampak berada di dalam kukusan. “Pantas padi di lumbung tak pernah habis. Rupanya istriku dapat memasak setangkai padi menjadi nasi satu kukusan penuh,” gumamnya. Saat Nawang Wulan pulang, ia membuka tutup kukusan. Setangkai padi masih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi beras untuk dimasak, seperti wanita umumnya. Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawang Wulan menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang menyembunyikan selendang itu. Dengan segera dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya.
“Kakang, aku harus kembali ke kahyangan. Jagalah Nawangsih. Buatkan dangau di sekitar rumah. Setiap malam letakkan Nawangsih di sana. Aku akan datang menyusuinya. Namun Kakang janganlah mendekat,” kata Nawang Wulan, kemudian terbang ke menuju kahyangan.
Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya bermain-main dengan ibunya. Setelah Nawangsih tertidur, Nawang Wulan kembali ke kahyangan. Demikian hal itu terjadi berulang-ulang hingga Nawangsih besar. Walaupun demikian, Jaka Tarub dan Nawangsih merasa Nawang Wulan selalu menjaga mereka. Di saat keduanya mengalami kesulitan, bantuan akan datang tiba-tiba. Konon itu adalah bantuan dari Nawang Wulan.
Mbok, simbok: Bu, ibu.
Kadingaren: tumben.
Le, thole : panggilan untuk anak lelaki di Jawa.
Diambah: dijamah, diinjak.
Nimas: adik; panggilan untuk adik perempuan.
Kakangmbok: kakak; panggilan untuk kakak perempuan.
Mayapada: bumi.
Kakang: kakak; panggilan untuk kakak laki-laki/ untuk suami.
Kali: sungai.
Kukusan : alat pengukus berbentuk kerucut, terbuat dari bambu yang dianyam.
Penulis: Daryatun
JAKA KENDHIL
Diceritakan kembali oleh: Samsuni
Jaka Kendhil adalah putra raja Asmawikana dari Kerajaan Ngambar Arum, Jawa Tengah, Indonesia, yang lahir dalam keadaan cacat, yaitu kepalanya berbentuk kendhil. Kedhil dalam bahasa Jawa berarti panci atau periuk. Menurut cerita, Jaka Kendhil mengalami cacat akibat disihir oleh seorang dukun sejak ia masih dalam rahim ibundanya. Meski keadaannya demikian, Jaka Kendhil berhasil menikah dengan seorang putri raja yang cantik nan rupawan. Mengapa dukun itu menyihir Jaka Kendhil sehingga menjadi cacat? Lalu, bagaimana Jaka Kendhil berhasil menikahi putri raja yang cantik? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Jaka Kendhil berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Jawa Tengah, Indonesia, hiduplah seorang raja bernama Asmawikana yang bertahta di Kerajaan Ngambar Arum. Raja Asmawikana mempunyai seorang permaisuri bernama Prameswari dan seorang selir bernama Dewi Dursilawati. Namun ia belum mempunyai seorang putra mahkota yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan. Hal ini membuat hati sang Raja menjadi sedih. Setiap hari ia selalu duduk termenung di singgasananya.
Sebenarnya, Prameswari sudah dua kali mengandung, tetapi dua kali juga keguguran. Penyebab Prameswari keguguran karena ulah Dewi Dursilawati yang iri hati kepadanya. Ia mencampuri racun ke dalam makanan dan minuman Prameswari secara diam-diam. Dewi Dursilawati melakukan hal itu karena ia menginginkan putra yang lahir dari rahimnyalah yang akan menggantikan kedudukan Raja Asmawikana kelak.
Pada suatu sore, ketika Raja Asmawikana sedang duduk termenung di singgasananya, tiba-tiba muncul perasaan curiga terhadap selirnya Dewi Dursilawati.
“Wah, jangan-jangan Dewi Dursilawati telah mencampurkan racun ke dalam makanan Prameswari,” pikirnya.
Sejak itu, Raja Asmawikana selalu memperhatikan kesehatan Prameswari, khususnya dalam hal makanan. Ketika Prameswari mengandung putranya yang ketiga, ia pun memerintahkan kepada para dayang-dayang istana agar memeriksa makanan dan minuman yang akan dihidangkan kepada Prameswari dan mengawasi sang permaisuri pada saat makan.
“Wahai, Dayang-dayang! Ingat, jangan biarkan permaisuri Prameswari makan dan minum tanpa sepengetahuan kalian! Kalian harus mengawasi semua hidangan yang akan disantapnya!” titah Raja Asmawikana.
“Baik, Baginda!” jawab dayang-dayang tersebut serentak.
Sejak itu, segala kebutuhan makanan dan minuman Prameswari senantiasa dalam pengawasan para dayang-dayang istana. Dengan demikian, Dewi Dursilawati tidak dapat lagi meracuni Prameswari. Namun, selir raja yang licik itu tidak kehabisan akal. Ia pergi ke seorang nenek dukun untuk meminta bantuan agar menyihir bayi yang ada di dalam kandungan Prameswari.
“Hai, Nenek Dukun! Aku ingin meminta bantuanmu! Sihirlah bayi yang ada di dalam kandungan Prameswari supaya menjadi cacat!” pinta Dewi Dursilawati.
Nenek sihir itu pun bersedia mengabulkan permintaan Dewi Dursilawati. Begitu kandungan Prameswari berusia sembilan bulan, dukun itu menyihir bayi yang tak berdosa itu. Tak berapa lama kemudian, Prameswari pun melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah terkejutnya keluarga istana, terutama Raja Asmawikana, ketika melihat putranya lahir dalam keadaan cacat, yaitu kepalanya berbentuk kendhil (panci). Ia dan permaisurinya sangat sedih melihat keadaan putra mereka. Sang Permaisuri menangis siang dan malam. Meski demikian, mereka tetap menerima keadaan itu dengan lapang dada. Bayi yang diberi nama Jaka Kendhil itu mereka rawat dengan penuh kasih sayang.
Namun, Raja Amawikana tidak ingin putranya cacat seumur hidup. Untuk itu, ia pun memerintahkan pengawalnya untuk memanggil seorang pertapa yang terkenal sakti mandraguna untuk melihat keadaan putranya. Pada suatu hari, pertapa itu pun datang ke istana menghadap kepada Raja Asmawikana.
“Ampun, Gusti! Apa yang bisa hamba bantu?” tanya pertapa itu sambil memberi hormat.
Raja Asmawikana pun menceritakan perihal keadaan putranya yang lahir dalam keadaan cacat itu.
“Wahai, Pertapa! Apakah kamu mengetahui penyebab penyakit yang diderita putraku? Apakah penyakitnya masih bisa disembuhkan?” tanya Raja Asmawikana dengan perasaan haru.
“Ampun, Gusti! Menurut pengetahuan hamba, putra paduka terkena sihir. Sebaiknya paduka menitipkan putra paduka kepada seorang nenek yang bernama Mbok Rondho. Ia tinggal di pinggir sungai di wilayah perbatasan kerajaan paduka. Suatu hari kelak, putra paduka akan menjadi kesatria setelah menikah dengan seorang putri raja,” ramal pertapa itu.
“Terima kasih atas bantuanmu, Pertapa!” ucap Raja Asmawikana.
Setelah mendapat saran dari sang pertapa, Raja Asmawikana segera mengirim utusan untuk menitipkan putranya kepada Mbok Rondho. Ia juga memerintahkan beberapa pengawalnya yang lain untuk menangkap dukun yang telah menyihir putranya untuk dihukum pancung. Namun sayang, dukun itu telah kabur dari rumahnya untuk menyelamatkan diri. Rupanya, Dewi Dursilawati telah memberitahu perihal penangkapan itu kepada si dukun.
Sementara itu di tempat lain, para utusan raja telah tiba di rumah Mbok Rondho untuk menyerahkan Jaka Kendhil.
“Mbok Rondho! Kami adalah utusan Raja Asmawikana. Kanjeng Gusti memerintahkan kami untuk menitipkan putranya kepada Mbok. Sebagai ucapan terima kasih, Kanjeng Gusti juga menitipkan emas, intan, dan permata untuk bekal hidup Mbok bersama Jaka Kendhil,” pesan salah seorang utusan.
Mbok Rondho pun menerima Jaka Kendhil dengan senang hati. Ia berjanji akan merawat dan membesarkan Jaka Kendhil dengang penuh kasih sayang. Sejak itu, Jaka Kendhil berada di bawah asuhan Mbok Rondho. Ketika Jaka Kendhil berumur belasan tahun, Mbok Rondho sering mengajaknya ke pasar dan ke ladang. Jaka Kendhil adalah anak yang rajin, baik hati, dan suka membantu orang-orang yang sedang kesusahan. Tak heran, jika semua orang sayang kepadanya.
Waktu berjalan begitu cepat. Jaka Kendhil pun tumbuh menjadi pemuda dewasa. Ia pun semakin rajin membantu ibu angkatnya bekerja di ladang. Ia juga suka membantu masyarakat di sekitarnya yang membutuhkan tenaganya.
Pada suatu hari, raja dari negeri seberang dengan rombongannya sedang mengadakan rekreasi di sungai di dekat Dusun Kasihan tempat tinggal Mbok Rondho dan Jaka Kendhil. Dalam rombongan tersebut hadir pula permaisuri dan putrinya yang jelita bernama Putri Ngapunten. Masyarakat Dusun Kasihan pun berbondong-bondong untuk melihat rombongan raja yang sedang berekreasi tersebut. Tak terkecuali Jaka Kendhil dan Mbok Rondho.
Saat pertama kali melihat Putri Ngapunten, Jaka Kendhil pun langsung jatuh hati. Ia terus menatap wajah putri raja yang cantik nan rupawan itu hingga rombongan raja tersebut kembali ke negerinya. Bahkan, di sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, wajah cantik Putri Ngapunten selalu terbayang-bayang di hadapannya. Jaka Kendhil benar-benar jatuh hati kepada Putri Ngapunten dan berniat untuk meminangnya. Setibanya di rumah, ia pun menyampaikan niat tersebut kepada ibu angkatnya.
“Bu! Jaka jatuh hati kepada putri raja dari negeri seberang itu. Bersediakah Ibu melamarnya untukku?” pinta Jaka Kendhil.
Alangkah terkejutnya Mbok Rondho mendengar permintaan putra angkatnya itu.
“Ah, kamu jangan meminta yang aneh-aneh, Putraku! Mana mungkin Raja Negeri Seberang itu akan menerima pinanganmu dengan keadaanmu seperti ini. Apalagi dia itu putri raja satu-satunya. Sebaiknya, kamu urungkan saja niatmu itu, Putraku!” kata Mbok Rondho menasehati Jaka Kendhil.
“Tidak, Bu! Apa salahnya jika Ibu mencobanya dulu,” desak Jaka Kendhil.
Mulanya, Mbok Rondho menolak untuk memenuhi permintaan Jaka Kendhil. Namun, karena terus didesak, akhirnya ia pun bersedia untuk memenuhi permintaan putra kesayangannya itu. Ia pun segera ke istana untuk menyampaikan niat Jaka Kendhil kepada Raja Asmawikana. Penguasa Kerajaan Ngambar Arum yang bijak itu pun menyetujuinya.
“Baiklah, Mbok Rondho! Aku merestui putraku menikah dengan Raja Ngapunten. Tapi, aku mohon Mbok Rondho yang datang ke Kerajaan Seberang untuk meminang putri raja itu. Aku akan menyiapkan segala keperluan pinangan ini dan mengutus beberapa pengawalku untuk mendampingimu ke sana,” pinta Raja Asmawikana.
Mbok Rondho pun tidak kuasa untuk menolak permintaan Raja Asmawikana. Pada hari yang telah ditentukan, Mbok Rondo bersama utusan raja pun berangkat ke Kerajaan Seberang dengan membawa perhiasan emas dan intan permata untuk dipersembahkan kepada putri raja.
Pada malam sebelum Mbok Rondho berangkat ke Kerajaan Seberang, Jaka Kendhil berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar pinangannya diterima. Berkat doanya tersebut, Tuhan pun membuka hati Raja Negeri Seberang melalui mimpi. Suatu malam, sang Raja bermimpi kejatuhan sebuahkendhil. Ajaibnya, ketika kendhil itu diberikan kepada putrinya, kendhil itu tiba-tiba berubah menjadi seorang kesatria yang gagah dan tampan. Raja Negeri Seberang pun berharap mimpi tersebut menjadi kenyataan. Maka, ketika Mbok Rondho bersama utusan Raja Asmawikana datang meminang putrinya, ia pun langsung menerimanya.
“Pinangan Jaka Kendhil saya terima. Kembalilah ke negeri kalian untuk menyampaikan berita gembira ini kepada Raja Asmawikana! Sampaikan kepadanya bahwa pesta pernikahan Jaka Kendhil dengan putriku akan dilaksanakan pekan depan!” seru Raja Negeri Seberang.
“Baik, Gusti!” ucap Mbok Rondho dengan senang hati.
Mbok Rondho bersama utusan raja pun mohon diri kembali ke istana untuk menemui Raja Asmawikana. Mendengar berita gembira tersebut, Raja Asmawikana segera memerintahkan seluruh pengawalnya untuk menyiapkan segala keperluan pesta pernikahan putranya. Pada hari yang telah ditentukan, pesta pernikahan Jaka Kendhil dengan Raja Ngapunten pun dilangsungkan dengan meriah di istana Negeri Seberang. Pesta tersebut dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan seni dan tari. Undangan yang hadir pun datang dari berbagai penjuru negeri.
Ketika Jaka Kendhil dan Raja Ngapunten sedang duduk bersanding di atas pelaminan, para undangan tiba-tiba menjadi gaduh. Banyak di antara mereka yang menyesali atas pernikahan tersebut, karena kedua mempelai bukanlah pasangan yang serasi. Raja Ngapunten adalah seorang putri raja yang cantik nan rupawan, sedangkan Jaka Kendhil putra raja yang memiliki bentuk kepala yang sangat buruk, yakni menyerupai kendhil.
Di tengah kegaduhan tersebut, tiba-tiba terjadi peristiwa ajaib. Jaka Kendhil tiba-tiba menghilang entah ke mana, sehingga Raja Ngapunten tampak duduk seorang diri di atas pelaminan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang pemuda tampan dan gagah muncul di antara kerumunan undangan, lalu berjalan menuju ke pelaminan dan duduk di samping Raja Ngapunten. Para undangan tersentak kaget bercampur rasa senang ketika menyaksikan peristiwa ajaib itu. Mereka baru menyadari bahwa ternyata Jaka Kendhil adalah seorang putra raja yang tampan dan gagah. Akhirnya, pesta pernikahan berlanjut dengan suasana meriah. Para undangan pun merasa senang dan gembira menyaksikan kedua mempelai pengantin yang duduk di pelaminan. Kini, kedua mempelai tersebut telah menjadi pasangan yang sangat serasi. Mereka hidup bahagia dan harmonis dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Tidak lama setelah menikah, Jaka Kendhil dinobatkan menjadi raja untuk menggantikan ayahandanya yang usianya sudah mulai udzur. Seluruh keluarga istana merasa sangat bahagia atas penobatan Jaka Kendhil sebagai raja, kecuali Dewi Dursilawati. Ia merasa dengki dan iri hati, karena belum mendapat seorang putra yang diharapkannya untuk menjadi raja. Karena perasaan dengki itu, ia berniat untuk mencelekai istri Jaka Kendhil. Namun, niat busuk itu terlebih diketahui oleh Raja Asmawikana melalui petunjuk dari sang pertapa, sehingga ia gagal melaksanakannya. Ia melarikan diri masuk ke dalam hutan, karena takut mendapat hukuman dari Raja Asmawikana. Pada saat itulah, ia terperosok masuk ke dalam jurang dan tewas seketika.
* * *
Demikian cerita Jaka Kendhil dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang di dalam terkandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai moral yang terkandung di dalam cerita di atas adalah sifat dengki, yaitu suatu sifat yang tidak senang atas keberhasilan atau kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk mecelakainya. Sifat dengki ini harus kita jauhi, karena ia bagaikan racun yang dapat mengubah rasa kasih sayang menjadi kebencian, bahkan hingga ke pembunuhan sekalipun. Hal ini ditunjukkan oleh sifat Dewi Dursilawati yang merasa iri dan dengki terhadap Prameswari, sehingga ia selalu berusaha untuk mencelakai Prameswari dan bayinya.
Dalam kehidupan orang Melayu, sifat iri dan dengki termasuk sifat tercela yang sangat dipantangkan. Orang yang memiliki sifat ini akan dijauhi dan dibenci oleh orang lain. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau suka iri mengiri,
sahabat menjauh, saudara pun lari
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci
sahabat menjauh, saudara pun lari
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci
(Samsuni/sas/1561/08-09)
Asal Usul Tari GUEL
Aceh - Indonesia
Tersebutlah dua bersaudara putra Sultan Johor, Malaysia. Mereka adalah Muria dan Sengede.
Suatu hari, kakak beradik itu menggembala itik di tepi laut sambil bermain layang-layang. Tiba-tiba datang badai dahsyat sehingga benang layang-layang mereka pun putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang tersebut. Mereka lupa bahwa pada saat itu mereka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.
Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.
Benar juga apa yang mereka pikirkan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mereka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi harinya mereka ditemukan oleh orang kampung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah diangkat anak oleh baginda raja.
Beberapa waktu berlalu, rakyat Serule hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini dikarenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu membuat Raja Linge iri dan gusar, sehingga mengancam akan membunuh kedua anak tersebut. Malang bagi Muria, ia berhasil dibunuh dan dimakamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.
Pada suatu saat, raja-raja kecil berkumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menunggu di halaman istana.
Sambil menunggu ayah angkatnya, Sangede menggambar seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang kemudian meminta Sultan mencarikan seekor gajah putih seperti yang digambar oleh Sangede.
Sangede kemudian menceritakan bahwa gajah putih itu berada di daerah Gayo, padahal dia sebenarnya belum pernah melihatnya. Maka, saat itu juga Sultan memerintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut guna dipersembahkan kepada Sultan. Raja Serule dan Raja Linge benar-benar kebingungan, bagaimana mungkin mencari sesuatu yang belum pernah dilihatnya.
Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencarinya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya gajah putih itu adalah dirinya yang menjelma saat dibunuh oleh Raja Linge.
Pagi harinya, Sangede dan Raja Serule yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Samarkilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa saat mencari, mereka berdua menemukan gajah putih itu sedang berkubang di pinggiran sungai.
Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengenakan tali di tubuh gajah yang nampak penurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah putih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sangede tak mampu menahannya. Mereka hanya bisa mengejarnya hingga suatu saat gajah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.
Anehnya, gajah putih itu berhenti seperti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule mencoba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi, semuanya sia-sia.
Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu tertarik juga oleh gerakan-gerakan Sangede, dan kemudian bangkit. Sangede terus menari sambil berjalan agar gajah itu mengikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun mengikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tarian Guel hingga sekarang.
Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.
Penulis: Suprihatin
Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan
Sumatera Utara - Indonesia
Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara, Indonesia, dan beribukota Tarutung. Di daerah ini terdapat beberapa danau yang terkenal, yaitu Danau Toba, Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan. Namun, dua danau yang disebutkan terakhir ini, tidak sepopuler Danau Toba. Kedua danau ini berada di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta.
Oleh masyarakat setempat, keberadaan Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan dikaitkan dengan adanya peristiwa yang sangat luar biasa, yang pernah terjadi di daerah itu. Peristiwa itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang masih hidup dalam masyarakat Lintong Ni Huta, Tapanuli Utara. Konon, dahulu ada dua orang bersaudara, yang tua bernama Datu Dalu, sedangkan adiknya bernama Sangmaima. Orang tua mereka baru saja meninggal dunia, karena diterkam harimau saat mencari tumbuhan obat-obatan di hutan. Kedua orang itu hanya meninggalkan warisan berupa sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, jika orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh ke tangan anak yang tertua. Sesuai hukum adat itu, maka Datu Dalu-lah yang berhak memiliki tombak pusaka itu. Suatu ketika, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi hutan. Datu Dalu bersedia meminjamkan tombak pusakanya, dengan syarat Sangmaima harus menjaganya dengan baik agar tidak hilang. Sanggupkah Sangmaima memenuhi syarat yang diberikan abangnya itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.
Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam harimau. Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai anak sulung.
Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.
“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”
“Untuk keperluan apa, Dik?”
“Aku ingin berburu babi hutan.”
“Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”
Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…!!!” Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.
Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.
Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.
“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.
“Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu Dalu.
Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.
“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.
“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.
“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.
“Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”
“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”
“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”
“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku.”
Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada abangnya.
Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung Ernga.[1] Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.
Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar mau datang ke pestanya.
“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”
“Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”
Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:
“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang.”
“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.
Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut. Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu. “Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,” gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah berada di depan rumahnya.
“Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu. Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.
“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.
“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.
Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si Losung.
Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.
Demikianlah cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
* * *
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Ada dua pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran, yaitu agar tidak bersifat curang dan egois.
Pertama, sifat curang. Sifat ini tercermin pada sifat Sangmaima yang telah menipu abangnya dengan menyuruh wanita burung Ernga pergi dari rumah abangnya secara sembunyi-sembunyi, sehingga abangnya mengira wanita burung Ernga itu hilang. Dengan demikian, abangnya akan merasa bersalah kepadanya. Dalam kehidupan orang-orang Melayu, sifat curang ini sangatlah dipantangkan, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan Melayu berikut ini:
kalau suka bersifat curang,
alamat kepala dimakan parang
alamat kepala dimakan parang
Kedua, sifat egois. Sifat ini tercermin pada perilaku Sangmaima yang tidak mau memaafkan abangnya dan tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dari abangnya. Bagi orang Melayu, sifat yang tidak suka memaafkan kesalahan orang lain sangat dipantangkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sifat suka memaafkan sangatlah dimuliakan, karena sifat ini dapat menjauhkan munculnya bibit permusuhan antar sesama. Oleh karenanya, setiap terjadi perselisihan hendaklah diredam dengan cara saling memaafkan. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “bunga api jangan dibiarkan merebak membakar negeri.” Dalam ungkapan lain juga dikatakan seperti berikut:
apa tanda Melayu pilihan,
hidup mau bermaaf-maafan
hati pemurah dalam berkawan
dendam dan loba ia jauhkan
hidup mau bermaaf-maafan
hati pemurah dalam berkawan
dendam dan loba ia jauhkan
(SM/51/sas/12-07)
[1] Ernga adalah kubang hijau yang menyerupai burung, yang sangat nyaring suaranya ketika menjerit pada waktu magrib.
Asal Mula Nama Irian
Papua - Indonesia
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.
Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.
“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.
Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.
Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci.Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.
“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.
Penulis: Daryatun
Kali Gajah Wong
Yogyakarta - Indonesia
Dalam kisah disebutkan, Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilometer arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung yang mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah. Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.
Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai Dwipangga itu selalu dimandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun karena terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
“Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi bagaimana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat menuju sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau, belalainya panjang, dan gadingnya berwarna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan …,” celetuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak ….” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwipangga dengan belalainya lalu dibanting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu pergi memandikan Ki Dwipangga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia membawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan untuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga. Belum habis Ki Kerti Pejok menggerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia hanyut dan tenggelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati karena tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.
Kanjeng : tuan.
Abdi dalem : pegawai istana, pembantu raja.
Srati : orang yang pekerjaannya mengurusi gajah.
Kang : kak, kakak, panggilan untuk kakak laki-laki.
Buntut : ekor.
Tulung : tolong.
Kali : sungai.
Wong : orang.
Penulis: Henry Artiawan Yudhistira
Ki Rangga Gading
Jawa barat - Indonesia
Dahulu kala, ketika Tasik masih merupakan “dayeuh” (kota) Sukapura, ada seorang bernama Ki Rangga Gading. Ia sangat sakti. Tapi kesaktiannya disalahgunakan untuk merampok dan mencuri. Ki Rangga Gading tidak pernah tertangkap, karena ia bisa mengubah badannya menjadi binatang, pohon, batu, atau air.
Suatu ketika, Ki Rangga Gading mencuri kerbau lima ekor. Pencurian itu sengaja dilakukan di siang hari untuk pamer kesaktian. Warga sekampung pun beramai-ramai memburunya. Karena ketinggian ilmu Ki Rangga Gading, ia mengubah kaki-kaki kerbau menjadi terbalik, sehingga jejak telapak kaki kerbau berlawanan arah. Warga yang mengikuti jejak itu tertipu. Mereka semakin menjauh dari kerbau-kerbau itu.
Warga memutuskan mengejar ke pasar. Sebab Ki Rangga Gading pasti akan menjual kerbau itu ke pasar. Tetapi dasar Ki Rangga Gading, ia mengubah tanduk kerbau yang tadinya melengkung ke atas menjadi ke bawah. Kulit kerbaunya yang tadinya hitam diubah menjadi putih. Maka, selamatlah ia dari kejaran massa dan polisi negara yang akan menangkapnya.
Tersiar kabar, di Karangmunggal terdapat tanah keramat. Tanah itu mengandung emas. Lahan itu dijaga oleh polisi negara dan para tua-tua kampung agar tidak diganggu. Mendengar kabar itu, Ki Rangga Gading jadi tergiur ingin memilikinya. Ia segera naik ke atas pohon kelapa. Setelah sampai di atas, dibacoknya pelepah kelapa yang diinjaknya. Dengan ilmunya, pelepah itu terbang melayang menuju Karangmunggal.
Sampai di Karangmunggal, Ki Rangga Gading mengubah dirinya menjadi seekor kucing agar tidak diketahui oleh polisi negara dan tua-tua kampung. Tentu saja para penjaga tertipu. Kucing jelmaan Ki Rangga Gading itu tenang-tenang saja mengeruki tanah yang mengandung emas itu. Kemudian dimasukkan ke dalam karung yang dibawanya. Setelah karungnya terisi penuh, Ki Rangga Gading segera terbang menggunakan pelepah yang tadi ditungganginya menuju ke kampung tempat persembunyiannya.
Sebelum tiba di kampungnya, ia turun ingin berjalan kaki. Di tempat yang sepi, ia istirahat sambil membuka hasil curiannya. Lalu ia mengambil segenggam dan ditaburkan supaya tempat itu menjadi keramat. Sampai saat ini tempat itu dikenal dengan nama Salawu, berasal dari kata sarawu(segenggam).
Kemudian Ki Rangga Gading melanjutkan perjalanan. Saat merasa lelah, ia beristirahat. Karung yang berisi tanah emas digantungkan pada dahan pohon. Sampai sekarang tempat itu terkenal dengan nama Kampung Karanggantungan terletak di Kecamatan Salawu. Nama itu berasal dari katatanah Karangmunggal digantungkan.
Ki Rangga Gading melanjutkan perjalanan lagi. Setelah lama berjalan, ia mulai banyak berkeringat. Ia berhenti untuk mandi dulu di suatu mata air. Karung yang dibawanya digantungkan lagi. Tapi karung itu berayun-ayun terus (guntal-gantel) tak mau diam. Sampai sekarang kampung itu dikenal dengan nama Kampung Guntal Gantel.
Ketika Ki Rangga Gading sedang asyik mandi, tiba-tiba di hadapannya telah berdiri seorang tua. Wajahnya bercahaya dan menggunakan sorban serta jubah putih, ia seorang ulama yang tinggi ilmunya. Sambil tersenyum orang tua itu berkata, “Sedang apa Rangga Gading, tiduran di atas tanah sambil telanjang, seperti anak kecil saja?” Ki Rangga Gading terkejut, Ia sangat malu dan mendadak badannya merasa lemas tak berdaya. Ia memelas, “Duh Eyang ampun, tolonglah saya Eyang, saya lemas, tidak tahan Eyang, saya tobat, saya ingin jadi murid Eyang.” Sejak saat itu Ki Rangga Gading menjadi santri di Pesantren Guntal Gantel.
Pada suatu ketika, Pesantren Guntal-Gantel tertimbun tanah longsor akibat gempa bumi. Waktu itu, ulama dan santri-santrinya sedang tilem (tidur). Konon, mereka menjadi kodok. Sebab itu tempat tersebut sangat angker, dan dinamakan “Bangkongrarang” berasal dari kata tanah yang dibawa darikarang dan loba bangkong (banyak katak).
Sampai saat ini “Bangkongrarang” dan “Guntal Gantel” masih ada, tetapi hanya berupa tumpukan pasir di tengah sawah yang luas. Barang siapa berani masuk dan menginjak lahan itu akan merasakan akibatnya. Bila ada burung terbang melintasi lahan itu, ia akan jatuh dan mati seketika. Bila bulan puasa tiba, di tengah malam saatnya sahur, sering terdengar sayup-sayup dari tempat itu bunyi beduk. Jangan heran sebab itu adalah suara beduk santri-santri dari Pesantren Guntal-Gantel yang tilem dan dipimpin oleh Ki Rangga Gading.
Penulis: Ali Muttaqin
Asal Mula Danau Malawen
Kalimantan Tengah - Indonesia
Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
* * *
Alkisah, di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua.
“Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami.
Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi.
wahai anak dengarlah petuah,
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
apalah adat orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit.
Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan. Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan.
“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang Banaung.
Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung.
Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung.
“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang warga.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua. Sifat ini tercermin pada perilaku Kumbang Banaung dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat merupakan sifat tercela. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau sifat keras kepala,
di situlah tempat beroleh bala
kalau bapa ibu engkau sanggah,
Tuhan murka, orang pun menyunggah
(Samsuni /sas/115/12-08)
Asal Mula Selat Bali
Bali - Indonesia
Selat Bali adalah sebuah selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Menurut cerita, kedua pulau tersebut dulunya merupakan kesatuan daratan, yang kemudian terpisah karena sebuah peristiwa ajaib yang pernah terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Selat Bali? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Selat Bali berikut ini!* * *
Alkisah, di Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur, hiduplah seorang brahamana (pendeta) yang bernama Empu Sidi Mantra. Ia seorang pendeta yang kaya raya dan terkenal sakti mandraguna. Selain itu, ia juga memiliki seorang istri yang cantik jelita dan seorang putra yang gagah dan tanpan bernama Manik Angkeran. Meski demikian, pendeta itu tidak bisa hidup tenang dan bahagia, karena anak semata wayangnya, Manik Angkeran, memiliki sifat tidak terpuji, yaitu gemar berjudi. Ia selalu mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya dan berhutang kepada orang lain ketika kalah berjudi. Hal inilah yang membuat Empu Sidi Mantra dan istrinya merasa resah, karena hampir setiap hari orang-orang mendatangi rumahnya untuk menagih hutang putranya. Keadaan tersebut berlangsung hingga bertahun-tahun, sehingga lambat-laun harta kekayaan sang Empu terkuras habis.
Pada suatu sore, Manik Angkeran pulang ke rumahnya dengan nafas tersengal-sengal.
“Bapa, Ibu! Tolong aku!” seru Manik Angkeran.
“Ada apa, Putraku? Apa yang terjadi denganmu?” tanya ibunya dengan perasaan cemas.
“A...a... aku dikejar-kejar orang, Bu!” jawab Manik Angkeran dengan nafas yang masih terengah-engah.
“Hmm... kamu pasti kalah berjudi lagi ya!” timpa bapanya.
“Iya, Bapa! Aku kalah berjudi dan tidak sanggup membayar taruhan. Tolong aku, Bapa! Mereka ingin membunuhku,” Manik Angkeran mengiba kepada bapanya.
Tak berapa lama kemudian, datanglah beberapa orang pemuda membawa golok. Mereka berteriak-teriak di depan rumah menyuruh Manik Angkeran keluar.
“Hai, Manik Angkeran! Keluar dan bayarlah hutangmu!” teriak salah seorang pemuda sambil mengacung-acungkan goloknya.
Manik Angkeran pun semakin ketakutan. Ia segera masuk ke kamarnya untuk bersembunyi. Sementara itu, dengan tenangnya, Empu Sidi Mantra segera menemui para pemuda yang berdiri di depan rumahnya.
“Tenang, wahai Anak Muda! Percayalah, saya akan membayar semua hutang putraku. Tapi, berilah saya waktu tiga hari untuk mencari uang dulu,” pinta Empu Sidi Mantra.
“Baiklah, Empu! Kami menerima permintaan Empu. Tiga hari lagi, kami akan kembali kemari untuk menagih janji Empu,” kata salah seorang pemuda, lalu membubarkan diri bersama teman-temannya.
Pada malam harinya, Empu Sidi Mantra berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Saat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya.
“Hai, Sidi Mantra! Pergilah ke kawah Gunung Agung! Di sana ada harta karun yang dijaga oleh seekor naga bernama Naga Besukih,” demikian suara bisikan itu.
Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra itu ke kawah Gunung Agung. Setelah berjalan cukup jauh dengan berbagai rintangan, sampailah ia di tempat tersebut. Ia pun duduk bersila sambil membunyikan genta (lonceng) saktinya seraya mulutnya komat-kamit menyebut nama Naga Besukih. Tak berapa lama kemudian, naga itu pun keluar dari tempat persembunyiannya.
“Hai, kisanak! Kamu siapa dan ada apa kamu memanggilku?” tanya Naga Besukih itu.
“Saya Empu Sidi Mantra dari Tanah Jambudwiba. Maksud kedatangan saya kemari untuk meminta bantuanmu,” kata Empu Sidi Mantra.
“Apa yang bisa kubantu, hai Mpu? Katakanlah!” seru Naga Besukih.
Empu Sidi Mantra pun mengutarakan maksud kedatangannya. Karena merasa iba, Naga Besukih segera menggeliatkan tubuhnya. Seketika itu pula, emas dan berlian pun berhamburan keluar dari balik sisiknya.
“Bawalah emas dan intan ini Mpu! Semoga cukup untuk membayar hutang-hutang putramu. Tapi, ingat! Jangan lupa untuk menasehati putramu agar dia mau merubah perilakunya!” seru sang Naga.
“Baik, Naga! Terima kasih atas bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.
Setelah mengambil semua perhiasan emas dan intan tersebut, Empu Sidi berpamitan kepada sang Naga. Setibanya di rumah, ia langsung memanggil putranya.
“Wahai, putraku Manik Angkeran! Bapa akan memberikan semua emas dan intan ini kepadamu, tapi dengan satu syarat, kamu harus berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ujar Empu Sidi Mantra.
`Baik, Bapa! Manik berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ucap Manik Angkeran.
Empu Sidi Mantra pun percaya begitu saja pada ucapan putranya. Akhirnya, ia menyerahkan semua perhiasan emas dan intan tersebut kepada putranya. Dengan perasaan senang dan gembira, Manik Angkeran segera menjual semua perhiasan emas dan intan tersebut. Setelah itu, ia pergi membayar hutang-hutangnya. Ternyata, uang hasil penjualan emas dan intan tersebut tidak habis digunakan untuk melunasi seluruh hutangnya. Melihat jumlah uang yang masih tersisa begitu banyak, akhirnya ia pun tergiur untuk kembali bermain judi. Dengan uang itu, ia berharap akan menang dan memperoleh uang yang lebih banyak lagi. Tapi, nasib berkata lain, ia kalah berjudi dan uangnya pun habis. Bahkan, ia kembali dililit hutang. Akhirnya, ia kembali ke rumahnya dengan wajah lesu.
“Bapa! Aku sudah membayar semua hutangku kepada mereka,” kata Manik Angkeran dengan nada lemas.
“Ya, baguslah kalau begitu! Tapi, kenapa wajahmu tampak kusut begitu?” tanya bapanya heran.
“Maafkan aku, Bapa! Tadi aku bermain judi dan berhutang lagi,” jawab Manik Angkeran sambil menundukkan kepalanya.
“Apa katamu! Dasar anak keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua!” bentak bapanya.
“Maafkan aku, Bapa! Tolong bantu aku sekali ini saja, Bapa!” Manik Angkeran mengiba di hadapan ayahnya.
“Tidak! Bapa tidak dapat membantumu lagi. Bayar sendiri hutang-hutangmu itu!” seru bapanya dengan wajah memerah.
Manik Angkeran pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kebingungan mencari cara untuk membayar hutang-hutangnya. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba ia teringat bahwa bapanya memperoleh perhiasan emas dan intan di kawah Gunung Agung. Ia pun nekad mencuri genta milik bapanya, lalu pergi ke kawah gunung itu. Setibanya di sana, ia bingung lagi karena tidak mengerti doa dan mantra yang harus diucapkan. Akhirnya, ia mencoba membunyikan genta itu tanpa mengucapkan mantra. Setelah beberapa kali membunyikannya, tiba-tiba seekor naga besar keluar dari sarangnya dan menghampirinya.
“Ampun, Naga! Jangan memangsaku!” pinta Manik Angkeran.
“Hai, Anak Muda! Kamu siapa? Kenapa kamu membunyikan genta itu tanpa membaca mantra?” tanya Naga Besukih.
“A... a... Aku Manik Angkeran, putra Empu Sidi Mantra,” jawab Manik Angkeran dengan gugup.
“Hai, Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari bapamu itu?” tanya Naga Besukih.
Manik Angkeran pun menyampaikan maksud kedatangannya. Ia mengiba kepada Naga Besukih agar ia diberikan harta yang melimpah untuk membayar hutang-hutangnya.
“Naga! Kasihanilah Aku! Orang-orang akan membunuhku jika tidak segera membayar hutangku kepada mereka,” Manik Angkeran kembali mengiba.
Melihat kesedihan Manik Angkeran, sang Naga pun merasa kasihan kepadanya.
“Baiklah! Aku akan membantumu, tapi kamu harus berjanji untuk berhenti berjudi,” ujar Naga Besukih.
Setelah itu, sang Naga segera membalikkan badannya hendak mengeluarkan emas dan intan melalui sisik ekornya. Begitu ia hendak menyetakkan ekornya, tiba-tiba Manik Angkeran segera menghunus kerisnya dan memotong ekor naga itu. Tak ayal lagi, Naga Besukih pun meronta-ronta dan menjerit kesakitan. Ketika ia membalikkan badannya, Manik Angkeran telah pergi membawa ekornya yang penuh dengan emas dan intan itu. Ia berusaha untuk mengejarnya, namun putra Empu Sidi Mantra itu sudah menghilang entah ke mana. Ia hanya menemukan bekas tapak kakinya. Maka dengan kesaktiannya, ia membakar tapak kaki itu. Manik Angkeran yang telah pergi jauh meninggalkan kawah Gunung Agung pun merasakan kedua telapak kaki terasa panas, dan lama-kelamaan seluruh tubuhnya terbakar hingga akhirnya menjadi abu.
Sementara itu, di Kerajaan Daha, Empu Sidi Mantra dan istrinya sedang gelisah, karena anak semata wayang mereka menghilang. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak juga menemukannya.
“Pa! Ke mana perginya putra kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak seorang pun warga yang tahu keberadaannya?” tanya istri Empu Sidi Mantra dengan perasaan cemas.
Empu Sidi Mantra hanya terdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia tersentak kaget.
“Wah, jangan-jangan putra kita pergi ke Gunung Agung,” kata Empu Sidi Mantra.
“Kenapa Bapa bisa berpikiran begitu?” tanya istrinya.
“Aku berpikiran demikian, karena putra kita menghilang bersamaan dengan hilangnya genta saktiku. Dia pasti pergi ke kawah itu untuk menemui Naga Besukih,” jawab Empu Sidi Mantra.
Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra ke kawah Gunung Agung untuk mencari putranya. Setibanya di sana, ia melihat Naga Besukih sedang gelisah di luar sarangnya.
“Wahai, Naga Besukih! Apakah engkau melihat putraku?” tanya Empu Sidi Mantra.
“Iya, Mpu! Kemarin dia ke sini meminta harta untuk membayar hutang-hutangnya. Namun, ketika aku hendak memberinya harta itu, tiba-tiba ia memotong ekorku, lalu membawanya pergi bersama harta itu,” jelas Naga Besukih.
“Apakah kamu tahu kemana perginya?” Empu Sidi Mantra kembali bertanya dengan perasaan cemas.
“Maaf, Mpu! Kamu tidak usah lagi mencari putramu. Aku telah membakarnya hingga binasa,” jawab Naga Besukih.
Betapa terkejutnya Empu Sidi Mantra mendengar berita buruk itu. Ia pun memohon kepada sang Naga agar putranya dihidupkan kembali.
“Maafkan aku dan putraku, Naga! Dia putraku satu-satunya. Aku mohon hidupkanlah dia kembali,” pinta Empu Sidi Mantra.
“Baiklah, Mpu! Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permitaanmu. Tapi dengan satu syarat, kamu harus mengembalikan ekorku,” kata Naga Besukih.
Empu Sidi Mantra pun berjanji untuk memenuhi syarat Naga Besukih. Dengan kesaktiannya, Naga Besukih berhasil menghidupkan kembali Manik Angkeran. Empu Sidi Mantra segera pergi mencari putranya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya ia pun menemukan putranya di sebuah hutan lebat, dan kemudian mengajaknya kembali ke kawah Gunung Agung untuk menemui dan mengembalikan ekor Naga Besukih.
Setibanya di kawah Gunung Agung, Empu Sidi Mantra segera mengembalikan ekor Naga Besukih seperti semula. Setelah itu, ia bersama naga itu menasehati putranya agar benar-benar mau merubah perilakunya. Manik Angkeran pun sadar dan berjanji untuk mengikuti nasehat mereka. Sebagai hukuman, ia harus tinggal di sekitar Gunung Agung.
Akhirnya, Empu Sidi Mantra pun kembali ke Kerajaan Daha seorang diri. Ketika tiba di Tanah Benteng, ia menorehkan tongkat saktinya ke tanah untuk membuat garis batas antara dia dan putranya. Karena kesaktiannya, bekas torehan tongkatnya bertambah lebar sehingga tergenangi air laut, dan lambat laun tempat itu berubah menjadi sebuah selat. Oleh masyarakat setempat, selat itu dinamakan Selat Bali.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Selat Bali daerah Bali, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa berjudi merupakan perilaku tidak terpuji yang harus dijauhi. Hal ini terlihat pada perilaku Manik Angkeran. Selain hidupnya tidak tenang selalu dikejar-kejar orang karena terlilit hutang, ia juga telah menguras habis harta kekayaan orang tuanya dipertaruhkan di meja judi.
Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa sifat gemar berjudi dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan keji seperti menipu, mencuri, dan merampok harta orang lain, sebagaimana yang dilakukan Manik Angkeran. Secara licik, ia memotong ekor Naga Besukih untuk mendapatkan emas dan intan yang akan digunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Akibat perbuatannya itu, ia pun tewas terbakar, meskipun pada akhirnya ia dihidupkan kembali oleh Naga Besukih. Dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:
kalau suka bermain judi,
hidup hina kerja tak jadi
kalau hidup jadi penjudi,
dunia akhirat badan terkeji
hidup hina kerja tak jadi
kalau hidup jadi penjudi,
dunia akhirat badan terkeji
(Samsuni/sas/169/10-09)
Legenda Gunung Arjuna
Kota Malang - Jawa Timur - Indonesia
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Gunung Arjuna terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat setempat, ketinggian gunung ini dahulu hampir mencapai langit. Namun, karena tersebab oleh sebuah peristiwa, gunung ini terpotong sehingga ketinggiannya hanya sekitar 3.339 meter di atas permukaan laut. Peristiwa apakah yang menyebabkan Gunung Arjuna terpotong? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Gunung Arjuna berikut ini!
* * *
Alkisah, dalam cerita pewayangan masyarakat Jawa, dikenal nama Pandawa, yang secara harfiah berarti “anak Pandu”. Jadi, Pandawa adalah putra dari Pandu. Sementara itu, Pandu adalah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Hastinapura. Prabu Pandu memiliki lima putra yang semuanya laki-laki. Mereka adalah Yudistira, Bima, Arjuna, serta si kembar Nakula dan Sadewa. Mereka semua merupakan saudara seayah karena lahir dari dua ibu yang berbeda. Yudistira, Bima, dan Arjuna lahir dari permaisuri pertama Prabu Pandu yang bernama Kunti, sedangkan Nakula dan Sadewa lahir dari permaisuri kedua yang bernama Madri.Dari kelima Pandawa tersebut, Arjuna dikenal memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Nama Arjuna diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti yang bersinar atau yang bercahaya. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, sang Dewa Perang. Sebagai titisan Dewa Indra, Arjuna memiliki ilmu peperangan yang tinggi. Ia sangat mahir memanah dan sakti mandraguna. Semua kesaktian tersebut merupakan anugerah dari para Dewa karena ketekunannya bertapa. Namun, karena belum puas dengan kesaktian yang telah dimilikinya, Arjuna masih sering melakukan tapa untuk menambah kesaktiannya.
Pada suatu hari, Arjuna pergi bertapa ke sebuah lereng gunung yang terletak di sebelah barat Batu, Malang. Suasana di lereng gunung itu sangat cocok untuk bertapa karena wilayah di sekitarnya merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk dan jauh dari permukiman penduduk. Itulah sebabnya, Arjuna memilih tempat itu agar dapat melaksanakan tapa dengan tenang dan khusyuk.
Setiba di lereng gunung itu, Arjuna langsung duduk bersila di atas sebuah batu besar seraya memejamkan mata untuk memusatkan segenap pikirannya. Sesaat kemudian, ia pun terlarut dalam semadinya. Siang dan malam ia terus bersemadi dengan penuh khusyuk. Saking khusyuknya, tubuh putra ketiga Prabu Pandu itu memancarkan sinar yang memiliki kekuatan luar biasa. Beberapa saat kemudian, puncak gunung itu tiba-tiba terangkat ke atas. Semakin lama, puncak gunung itu semakin menjulang tinggi hingga menyentuh langit dan mengguncang Negeri Kahyangan.
Peristiwa tersebut membuat para Dewa di Kahyangan menjadi khawatir. Jika guncangan itu terus terjadi, maka Negeri Kahyangan akan hancur. Oleh karena itu, mereka segera bertindak dengan mengutus Batara Narada ke bumi untuk mencari tahu penyebab guncangan itu. Setelah terbang berputar-putar di angkasa, ia pun melihat Arjuna sedang bertapa di lereng gunung. Ia pun segera menghampiri dan membujuk Arjuna agar menghentikan tapanya.
“Wahai Arjuna, bangunlah!” ujar Batara Narada, ”Jika kamu tidak segera menghentikan tapamu, gunung ini akan semakin tinggi dan para Dewa di Kahyangan akan celaka.”
Arjuna mendengar sabda Batara Narada itu, namun karena keangkuhannya ia enggan menghentikan tapanya. Ia berpikir, jika ia menghentikan tapa itu tentu para Dewa tidak akan memberinya banyak kesaktian. Sementara itu, Batara Narada yang gagal membujuk Arjuna segera kembali ke Kahyangan untuk melapor kepada para Dewa. Mengetahui hal itu, Batara Guru kemudian memerintahkan tujuh bidadari tercantik di Kahyangan untuk menggonda pemuda tampan itu agar mengakhiri tapanya.
Sesampai di bumi, para bidadari segera merayu Arjuna dengan berbagai cara. Ada yang merayu dengan suara lembut, ada yang menari-nari di depannya, ada yang tertawa cekikikan, serta ada pula yang mencubit dan menggelitiknya. Namun, semua usaha tersebut tetap saja sia-sia. Akhirnya, mereka kembali ke Kahyangan dengan perasaan kecewa.
Batara Guru yang mengetahui hal itu segera mengutus para dedemit untuk menakut-nakuti Arjuna. Namun, usaha yang mereka lakukan juga gagal. Berita tetang kegagalan itu segera mereka laporkan kepada Batara Guru.
“Ampun, Batara Guru! Kami telah berusaha dengan berbagai cara, namun Arjuna justru semakin khusyuk dalam tapanya,” lapor salah satu dedemit.
Mendengar laporan itu, Batara Guru hanya terdiam. Pemimpin para Dewa itu mulai merasa cemas dan putus asa melihat kelakuan Arjuna. Untungnya ia segera teringat kepada Dewa Ismaya yang tak lain adalah Batara Semar, pengasuh Pandawa yang tinggal di Bumi. Ia pun mengutus Batara Narada untuk menemui Semar di Bumi.
“Wahai, Semar! Aku datang untuk meminta bantuanmu,” kata Batara Narada.
“Apa yang bisa saya bantu, Dewa Narada?” tanya Semar.
Batara Narada pun menceritakan bahwa para Dewa di Kahyangan sedang dalam bahaya akibat perbuatan Arjuna. Ia juga menceritakan bahwa sudah berbagai cara yang telah mereka lakukan untuk menghentikan tapa Arjuna, namun semuanya sia-sia belaka.
“Kamulah satu-satunya harapan para Dewa di Kahyangan yang bisa membujuk Arjuna agar segera mengakhiri tapanya,” ungkap Batara Narada.
“Baiklah, kalau begitu. Saya akan berusaha untuk menyadarkan Arjuna,” kata Semar menyanggupi.
Setelah Batara Narada kembali ke Kahyangan, Batara Semar meminta bantuan kepada Batara Togog untuk melaksanakan tugas tersebut. Setibanya di lereng gunung tersebut, keduanya langsung bersemadi untuk menambah kesaktian mereka. Setelah itu, mereka mengubah tubuh mereka menjadi besar dan kemudian berdiri di sisi gunung yang berbeda. Dengan kesektiannya, mereka memotong gunung itu tepat di tengah-tengahnya dan kemudian melemparkan bagian atas gunung itu ke arah tenggara. Begitu bagian atas gunung itu terjatuh ke tanah, terdengarlah suara dentuman yang sangat keras disertai dengan guncangan yang sangat dahsyat.
“Hai, suara apa itu?” gumam Arjuna yang terbangun dari tapanya.
Baru saja Arjuna selesai berguman, tiba-tiba Batara Semar dan Batara Togo datang menghampirinya.
“Kami telah memotong dan melemparkan puncak gunung ini, Raden,” kata Batara Semar.
“Kenapa, Guru? Gara-gara suara itu aku terbangun dari tapaku. Tentu para Dewa tidak akan menambah kesaktianku,” kata Arjuna.
“Maaf, Den! Justru tapamu itu telah membuat para Dewa menjadi resah. Lagi pula, untuk apalagi kamu meminta banyak kesaktian? Bukankah sudah cukup dengan kesaktian yang telah kamu miliki saat ini?” ujar Batara Semar.
“Benar kata Batara Semar, Den! Raden adalah seorang kesatria yang seharusnya memiliki sifat rendah hati. Apakah Raden tidak menyadari jika tapa Raden ini bisa mencelakakan banyak orang dan para Dewa?” imbuh Batara Togog.
Mendengar nasehat tersebut, Arjuna menjadi sadar dan mengakui semua kesalahannya. Ia juga tidak lupa berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara Togog karena telah menyadarkannya. Setelah itu, mereka pun segera meninggalkan gunung tersebut.
Sejak itulah, gunung tempat Arjuna bertapa dinamakan Gunung Arjuna. Sementara itu, potongan gunung yang dilemparkan oleh Batara Semar dan Batara Togog dinamakan Gunung Wurung. Katawurung berarti batal atau gagal. Artinya, tapa Arjuna menjadi batal atau gagal karena mendengar suara dentuman dari potongan gunung yang terjatuh.
* * *
Demikian cerita Legenda Gunung Arjuna dari daerah Malang, Jawa Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat serakah merupakan sifat yang tidak terpuji. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Arjuna yang tidak pernah merasa puas dengan kesaktian yang dimilikinya. Karena kesekarahannya, Arjuna pun mendapat teguran dari para Dewa.
Pesan moral lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat mau mengakui kesalahan sendiri sebagaimana yang ditunjukkan oleh Arjuna. Dengan segala kerendahan hati, ia tidak malu mengakui kesalahannya. Bahkan, ia tidak sungkan untuk berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara Togog yang telah menasehatinya. (Samsuni/sas/204/10-10)
Empat Sultan di Maluku Utara
Maluku - Indonesia
Empat Sultan di Maluku Utara adalah sebuah cerita yang sangat melegenda di kalangan masyarakat Maluku Utara, Indonesia. Keempat sultan tersebut adalah bersaudara kandung dan merupakan keturunan bidadari dari Kahyangan. Menurut masyarakat setempat, dari merekalah lahir pemimpin-pemimpin Maluku. Bagaimana kisahnya sehingga keempat sultan tersebut dikatakan sebagai keturunan bidadari? Lalu, bagaimana mereka bisa diangkat menjadi sultan? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Empat Sultan di Maluku Utara berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Tak seorang pun warga yang mengetahui asal-usul keluarganya. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar terdapat sebuah telaga yang berair jernih, sejuk, dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Setiap orang yang berada di tempat itu hatinya akan merasa nyaman dan tenteram. Itulah sebabnya telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa.
Suatu sore, sepulang mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga itu untuk melepaskan lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam kakinya dalam air telaga. Pandangannya menerawang ke langit yang berwarna jingga. Pada saat itulah, tiba-tiba pandangannya tertuju pada setitik cahaya berwarna-warni. Semakin lama cahaya itu semakin memanjang dan semakin jelas, kemudian ujungnya jatuh di tengah Telaga Air Sentosa.
“Sungguh aneh! Tak ada gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi,” gumam Jafar Sidik.
Baru selesai bergumam, tiba-tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan pelang itu muncul tujuh wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai dengan warna pelangi. Ada yang berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh wanita yang tak lain bidadari dari Kahyangan itu kemudian terbang ke tepi telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi tindak-tanduk mereka. Rupanya, ketujuh bidadari cantik tersebut hendak mandi di telaga itu. Mereka melepas selendangnya dan meletakkannya di atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam telaga. Dengan riangnya mereka mandi dan bermain-main air diselingi dengan canda tawa.
Jafar Sidik terus mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik pepohonan. Ia sangat terpesona melihat kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu.
“Aduhai... cantik sekali bidadari yang berpakaian ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan kagum.
Jafar Sidik pun langsung jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun, ia bingung karena bidadari itu pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah berpikir sejenak, Jafar Sidik menemukan sebuah cara. Pada saat ketujuh bidadari itu tengah asyik bersendau gurau, ia melangkah perlahan-lahan sambil berjingkat-jingkat menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan cepat, ia mengambil selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera kembali bersembunyi di balik pohon besar dan menyembunyikan selendang tersebut di balik bajunya.
Hari pun semakin sore. Tibalah saatnya para bidadari tersebut kembali ke negerinya di Kahyangan.
“Adik-adik, hari sudah menjelang malam. Ayo kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang!” ajak bidadari berbaju merah, kakak yang tertua.
Keenam adiknya pun menurut. Mereka segera naik ke darat dan mengenakan selendang masing-masing. Namun, bidadari yang bungsu masih kebingungan, karena selendangnya hilang.
“Ayo cepat, Bungsu! Pelangi sudah hampir menghilang!” seru bidadari berbaju hijau.
“Tunggu sebentar, Kak! Selendangku tidak ada. Padahal, tadi aku meletakkannya di atas bebatuan ini bersama dengan selendang Kakak,” kata bidadari yang berbaju ungu tiba-tiba.
Bidadari bungsu pun segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam kakaknya. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, namun tidak menemukannya. Walaupun harus meninggalkan si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya memutuskan untuk segera pulang, karena pelangi sudah mulai memudar.
“Maafkan kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu seorang diri sini. Jaga dirimu baik-baik!” ujar bidadari yang sulung.
“Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriak si Bungsu sambil meratap.
Namun, keenam kakaknya sudah terbang meninggalkannya. Tak lama kemudian mereka pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi itu.
Bidadari bungsu pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah... Ibu..., kenapa nasibku begini?”
Jafar Sidik merasa kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya.
“Hai, Bidadari cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu menangis dan bisa berada di tempat ini seorang diri?” tanya Jafar Sidik pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu.
“Nama hamba Putri Boki Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa kembali lagi ke Kahyangan karena selendang hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan melihatnya?” tanya Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik tidak memberitahunya kalau dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu. Karena hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengajak Putri Boki Nurfaesyah ke rumahnya. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam, ketika Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik menyembunyikan seledang berwarna ungu itu di bubungan rumahnya.
Sejak tinggal bersama Putri Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada Putri Boki Nurfaesyah.
“Wahai, Putri Boki! Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak saudara di sini. Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” ungkap Jafar Sidik.
Putri Boki Nurfaesyah hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke negerinya untuk berkumpul bersama keluarganya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena selendangnya hilang. Akhirnya, ia pun terpaksa menerima lamaran Jafar Sidik.
“Baiklah, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu syarat,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
“Apakah syaratmu itu, Putri Boki?” tanya Jafar Sidik penasaran.
“Tuan harus berjanji tidak akan mencegah hamba pulang ke Kahyangan jika hamba menemukan kembali selendang hamba,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik pun menerima syarat itu, karena ia berpikir bidadari bungsu itu tidak akan bisa menemukan selendangnya. Akhirnya, mereka pun menikah. Pasangan pengantin baru itu pun hidup bahagia, tenteram, dan damai. Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari kayu bakar, tetapi juga menanam sayur-sayuran di ladang. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke ladang dan baru kembali ke rumah saat hari mulai petang.
Beberapa tahun kemudian, Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai empat orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Semakin lengkaplah kebahagiaan Jafar Sidik. Ia pun mendidik anak-anaknya agar taat memegang dan melaksanakan ajaran agama Islam. Ia juga mengajarkan kepada mereka agar hidup saling menyayangi, tolong-menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia berharap keempat anaknya kelak menjadi orang yang bertanggung jawab.
Kehadiran keempat anak tersebut membuat Jafar Sidik semakin bersemangat bekerja. Putri Boki Nurfaesyah pun merasa berbahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya. Namun, di tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul keinginan untuk pulang ke negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya.
Suatu hari, ketika suaminya sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat itulah, ia melihat sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain itu. Setelah diamati, ternyata kain itu adalah selendangnya. Ia pun mengetahui bahwa orang yang telah menyembunyikan selendangnya selama ini adalah suaminya sendiri. Tanpa menunggu kedatangan suaminya pulang dari ladang, ia pun berpamitan kepada anak-anaknya untuk segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Jagalah diri kalian baik-baik dan patuhlah kepada ayah kalian!” ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada anak-anaknya.
“Ibu mau pergi ke mana?” tanya si Sulung.
“Ketahuilah, anak-anakku! Ibu ini adalah seorang bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah, Ibu dan ayah kalian telah mengikat janji bahwa jika suatu hari kelak Ibu menemukan selendang Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan kembali ke Kahyangan,” ungkap sang Ibu.
“Ibu.... jangan tinggalkan kami. Kami sangat sayang kepada Ibu,” ratap si Bungsu.
“Iya, Bu! Jika Ibu pergi, siapa lagi yang akan mengurus si Bungsu,” tambah anak ketiganya sambil menangis.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus segera pergi sebelum pelangi itu hilang. Ibu sudah bertekad kembali menemui keluarga Ibu di Kahyangan,” kata Putri Boki Nurfaesyah sambil meneteskan air mata.
Sesaat, suasana di rumah itu menjadi hening. Hati ibu dan keempat anak tersebut diselimuti perasaan haru. Dengan isak tangis haru, keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar tidak meninggalkan mereka. Namun, isak tangis mereka tidak dapat lagi membendung tekad sang Ibu. Putri Boki Nurfaesyah pun segera melilitkan selendang itu di pingganngya, lalu memegang kedua ujungnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya pun terangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Putri Boki Nurfaesyah meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju negeri Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi. Keempat anaknya terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi.
Saat malam menjelang, Jafar Sidik pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati anak-anaknya sedang menangis tersedu-sedu.
“Hai, kenapa kalian menangis? Ke mana Ibu kalian?” tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas.
Si Sulung pun menceritakan bahwa sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar Sidik mendengar cerita itu. Ia sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu menjaga keutuhan keluargannya. Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut-laut dalam kesedihan, karena ia masih memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sejak itu, Jafar Sidik pun harus membagi waktunya bekerja di ladang dan mengasuh anak-anaknya. Ia baru berangkat ke ladang setelah mengurus keempat anaknya, dan kembali ke rumah saat hari menjelang siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak-anaknya makan siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menjelang. Begitulah kegiatan Jafar Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh istrinya.
Waktu terus berjalan. Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda yang tampan, taat beragama, dan berjiwa sosial. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan pemerintahan, putra-putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya. Putra pertamanya menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.
* * *
Demikian cerita Asal-Usul Empat Sultan di Maluku Utara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan dari sifat bertanggung jawab. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Jafar Sidik yang telah mendidik dan membesarkan keempat anaknya menjadi orang yang taat beragama dan berjiwa sosial, sehingga mereka berhasil menjadi pemimpin di empat wilayah di Maluku Utara. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau anak hendak menakah,
isilah dengan petuah amanah
isilah dengan petuah amanah
kalau anak hendak jadi orang,
tunjuk ajarnya janganlah kurang
tunjuk ajarnya janganlah kurang
wahai ananda kuatkan iman,
tunaikan tugas jalankan kewajiban
tanggung jawabmu jangan abaikan
supaya hidupmu diridhoi Tuhan
tunaikan tugas jalankan kewajiban
tanggung jawabmu jangan abaikan
supaya hidupmu diridhoi Tuhan
(Samsuni/sas/142/05-09)












0 komentar:
Posting Komentar